MAYORITAS.COM – Yordania, Qatar, dan Arab Saudi ikut menolak permintaan AS untuk mengirim pasukan penjaga perdamaian pascaperang ke Jalur Gaza, Palestina.
Ketiga negara Arab tersebut menolak karena pengiriman pasukan penjaga perdamaian akan dianggap sebagai “membela Israel dari Palestina,” kata seorang pejabat Arab kepada The Times of Israel pada Selasa (6 Agustus).
Meski ketiga negara tersebut menolak, Mesir dan Uni Emirat Arab menerima permintaan tersebut, menurut ketiga sumber tersebut.
Seorang pejabat senior UEA menulis sebuah artikel di Financial Times bulan lalu yang mengatakan bahwa pasukan penjaga perdamaian Gaza “menghancurkan fondasi pemerintah dan membuka jalan bagi reunifikasi Gaza dan Tepi Barat di bawah satu-satunya Otoritas Palestina (PA) yang sah.
Dia menulis bahwa “misi internasional sementara” akan mempunyai tugas mengatasi krisis kemanusiaan dan menjaga ketertiban umum.
Jika terbentuk, pasukan penjaga perdamaian ini akan dipimpin oleh Amerika Serikat. Baru-baru ini, Amerika Serikat berupaya menegaskan kembali peran Otoritas Palestina di Gaza untuk mencegah Hamas mendapatkan kembali kendali.
Selama proses ini, menurut Amerika Serikat, pasukan keamanan dan pemerintahan sementara akan diperlukan.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan kepada para menteri luar negeri Arab pada bulan Juni bahwa Washington akan membantu membentuk dan melatih pasukan keamanan dan memastikan mereka memiliki mandat sementara sampai mereka akhirnya digantikan oleh Otoritas Palestina.
Blinken juga mengatakan Amerika Serikat tidak akan menyumbangkan pasukan, menurut tiga sumber. Washington hanya akan membantu dengan pelatihan dan pendidikan. Dalam konferensi pers pada 12 Juni di Doha, Blinken mengatakan bahwa Amerika Serikat dan mitranya akan segera mempublikasikan rencana pengelolaan Gaza pascaperang.
Rencana tersebut awalnya dijadwalkan akan dirilis bulan depan, namun pemerintah akhirnya setuju untuk menundanya sampai kesepakatan gencatan senjata tercapai, menurut seorang pejabat AS.
AS juga disebut masih berharap Arab Saudi ikut serta dalam upaya tersebut.
Sementara itu, Otoritas Palestina tampaknya telah memutuskan untuk melakukan upaya perencanaan pemerintahan Gaza pascaperang. Otoritas Palestina telah menyusun dokumen setebal 101 halaman berjudul “Rencana, Layanan, dan Konsekuensi Intervensi Pemerintah Palestina di Jalur Gaza.”
Rencana tersebut dipimpin oleh perdana menteri baru Otoritas Palestina, Mohammed Mustafa. Ramallah berbagi rencana tersebut dengan aktor internasional.
Dokumen ini bertujuan untuk menguraikan langkah-langkah penting yang akan diambil Otoritas Palestina untuk menyatukan pemerintahan di Tepi Barat dan Jalur Gaza, memungkinkan penyediaan layanan dasar yang terintegrasi dan bertanggung jawab kepada masyarakat setelah gencatan senjata dan perjanjian politik.
telah tercapai, dan mereka mewakili layanan dan kegiatan penting yang dilakukan oleh lembaga pemerintah di Jalur Gaza,” rencana Otoritas Palestina yang diperoleh Times of Israel.
“Namun, tugas mengelola Gaza, memastikan keamanan dan memulihkan layanan dan aktivitas ekonomi, serta membangun kembali perumahan dan infrastruktur, akan memerlukan dukungan internasional yang signifikan. Rencana ini terkait dengan proses reformasi nasional yang lebih luas daripada memperkuat Otoritas Palestina, memperbaharui dan meningkatkan kepercayaan warga, serta memperkuat landasan demokrasi di tingkat lokal dan nasional,” bunyi dokumen tersebut.