Kualitas udara DKI Jakarta masuk dalam kategori tidak sehat dengan peringkat ketiga dunia dengan peringkat 166. Berdasarkan data situs resmi IQAir, pada Minggu pukul 06.00 WIB, indeks kualitas udara (AQI) Jakarta sebesar 166, partikel halus (particulate matter) 2,5, dan konsentrasinya 77 mikrogram per meter kubik.
Profesor Tjandra Yoga Aditama, mantan Direktur Penyakit Menular Organisasi Kesehatan Dunia Wilayah Asia Tenggara, mengatakan konsentrasi ini setara dengan 15,4 kali nilai pedoman kualitas udara tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
“Pada malam tanggal 22 Juni 2024, saya baru saja kembali dari menghadiri Konferensi Keamanan Kesehatan Global di Sydney. Tingkat PM 2,5 di Sydney pada pagi hari hanya 12, yang jelas jauh lebih sehat daripada kita di Jakarta, dan langit sangat cerah.” Biru cerah yang menyegarkan, ” kata Profesor Tjandra dalam siaran pers yang diterima Mayoritas.com, Senin (24 Juni 2024)..
Terkait peningkatan polusi udara di Jakarta, Profesor Tjandra punya empat poin yang ingin disampaikan. Beberapa dari mereka adalah:
“Pertama-tama, kita harus berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan dan mengubah polusi udara di Jakarta. Sebab, kita warga Jakarta bisa memilih untuk mengonsumsi makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi, namun kita tidak bisa selalu memilih udara yang kita hirup. Apakah itu polusi udara? Jadi “kita ‘terpaksa’ atau ‘terpaksa’ menghirup udara yang tercemar polutan, yang berbahaya bagi kesehatan kita,” ujarnya.
Kedua, kita telah mengetahui bahwa polusi udara (termasuk Jakarta) terdapat partikulat yaitu PM 10 dan PM 2.5, dan gas yang paling sedikit adalah CO, SO2 dan ozon. Dampak polusi udara dapat bermanifestasi dalam jangka pendek, seperti iritasi pada saluran pernapasan yang dapat menimbulkan gejala seperti batuk, sesak napas, kambuhnya asma, dan eksaserbasi penyakit paru-paru kronis (COPD).
Kondisi ini juga dapat menyebabkan infeksi, seperti infeksi saluran pernafasan akut seperti bronkitis. Sedangkan dampak jangka panjangnya bisa berupa kerusakan pada saluran pernafasan bahkan alveoli. Penyakit paru-paru kronis dan eksaserbasinya dapat terjadi.
Ketiga, mengenai apa yang perlu dilakukan oleh warga perkotaan. Tentunya jika tingkat polusi udara sudah parah, sebisa mungkin batasi aktivitas di luar ruangan. Cara lainnya adalah dengan tetap menjaga kesehatan, mengonsumsi makanan bergizi, istirahat dan istirahat yang cukup. tentu saja jangan merokok,” katanya.
Kemudian, jika Anda memiliki kondisi medis kronis (baik penyakit paru-paru atau kondisi lainnya), pastikan untuk mengikuti anjuran dokter Anda, termasuk mengonsumsi obat rutin apa pun yang Anda perlukan. Pendekatan keempat adalah upaya pemerintah untuk mengatasi polusi.
Setidaknya ada tiga hal yang perlu dilakukan pemerintah:
1. Pemerintah harus berupaya maksimal agar polusi udara dapat dikendalikan, agar warga dapat menghirup udara bersih dalam kehidupannya sehari-hari.
2. Memberi informasi tentang kadar polusi udara secara rinci dan berkala kepada masyarakat secara lebih luas dan mudah dipahami.
3. Kalau ada warga negara yang mengalami gangguan kesehatan, atau kelompok ber risiko yang rentan terkena gangguan akibat polusi udara, maka pemerintah berkewajiban agar semua warga negara punya akses pada pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya tanpa harus membebani ekonominya, inilah yang disebut konsep “Universal Health Coverage – UHC”.